Safiamita
Ada dua kisah berbeda yang aku dengar tentang cinta. Kisah pertama : Ada teman (pasangan muda) yang ingin bercerai, katanya sudah tidak cocok. klo kata sang suami sih, istrinya tidak patuh, tapi saat sang istri sudah mau mengalah, sang suami tidak mau memberi kesempatan pada istri yang ingin berubah. Padahal mereka sudah punya 2 orang anak. menikah dulu pun atas pilihan sendiri dan atas nama cinta pula. Sekarang udah beneran cerai deh. (hiks, kenapa jadi sedih ya? hemh.. mikirin anak2nya aja sih, keluarganya jadi gak utuh lagi).
Kemana lenyapnya cinta itu ya? termakan waktu kah? atau mungkin termakan ego? tidak bisakah anak menjadi pelekat kembali cinta itu? apakah cukup hanya cinta yang jadi pondasi dalam menikah dan berumah tangga? Lalu dimana posisi anak, orang tua dan keluarga besar? cukupkah hanya bicara tentang sang suami dan sang istri?
Kisah kedua : ada seorang teman yang baru menikah sebulan... sedang hangat-hangatnya. tiba-tiba sang istri harus dipanggil oleh Yang Maha Kuasa lewat kecelakaan lalu lintas yang mendadak. Sang suami shock, tidak siap kehilangan belahan jiwa begitu cepat... tak berapa lama kemudian menyusul istrinya kembali kepangkuan Ilahi dengan cara menghilangkan nyawanya sendiri. Sebesar itukah cintanya pada sang istri sehingga harus melebihi cintanya pada sang Khalik? Mungkin juga ada rasa bersalah yang menghinggapi sehingga menghilangkan akal sehatnya.. (smoga Allah SWT mengampuninya dan berkenan mempertemukan beliau dengan belahan jiwanya lagi, amiinn. )
Itulah dunia, klo dipikirin jadi bingung sendiri....
Baru-baru ini juga membaca tulisan Asma Nadia tentang catatan hati seorang istri. ada beberapa yang menarik buatku. Yang pertama tentang poligami...
Apa yang dicari seorang laki-laki dalam melakukan poligami? kebahagiaankah? apakah ada jaminan akan mendapatkan itu? sedangkan sudah ada kepastian yang lain, yaitu luka permanen di hati istri pertama dan anak-anaknya karena sang suami dan sang ayah menikah lagi? bisakah berbahagia sementara ada orang lain yang terluka?
Yang kedua, ada seorang suami yang menikah dengan istrinya lewat taaruf, setelah punya 4 orang anak, masih berkata bahwa dia tidak pernah mencintai istrinya hanya karena istrinya tidak cantik !!!!! (please deh pak !! )
Satu hal yang masih positif, dia mengesampingkan perasaannya dan tetap bertanggung jawab penuh pada istri dan anak-anaknya. Tapi bukankah itu hanya jadi menyiksa diri sendiri karena masalah perasaan yang sebenarnya masih bisa diubah sesuai dengan kemauan kita sendiri? tidak bisakah kecantikan akhlak sang istri menggantikan kekurangan fisik istrinya? apa mau punya istri cantik secantik bidadari tapi suka selingkuh, cantik tapi gak bisa ngurus rumah tangga dan anak-anak, cantik tapi tidak patuh pada suami? Menurutku perasaan cinta itu bisa diciptakan sepanjang kita mau berusaha dan punya kemauan. Kenapa harus menyiksa diri sendiri ? Lihatlah jerih payah istri yang mengurus rumah tangga, mendidik anak, memasak, melayani suami.. tak cukupkah yang dilakukan oleh seorang istri sholihat untuk membuat suaminya jatuh hati? Seperti yang dituliskan dalam ceritanya kang Abik dalam pudarnya pesona cleopatra. harusnya si suami baca itu tuh, jadi terlihat betapa berharganya seorang istri sholihat. (kenapa jadi emosi ya? hehe.. santai, buu.. ) Udah ah, ntar jadi tambah terbawa emosi, gak objektif lagi dalam menilai..eh menulis.
Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails

Galeri